Yogyakarta, 20 Maret 2024 – Universitas Amikom Yogyakarta menggelar kegiatan Ngabuburit Bareng Satgas PPKS dengan tema “Berani Speak Up Lawan Kekerasan Seksual” yang bertempat di Ruang Citra II Universitas Amikom Yogyakarta. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi mahasiswa dalam mencegah serta menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Dalam sambutannya, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Amikom Yogyakarta, Achmad Fauzi, mengungkapkan keprihatinannya atas persoalan kekerasan seksual di lingkungan kampus yang semakin mengkhawatirkan. “Harus ada kepedulian dari seluruh elemen kampus, bukan hanya Satgas PPKS, tetapi juga mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan. Sinergi dengan organisasi mahasiswa sangat penting untuk meminimalisir kekerasan seksual,” ujarnya.
Fauzi menekankan bahwa menciptakan kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual merupakan tanggung jawab bersama seluruh warga kampus. Organisasi mahasiswa diharapkan menjadi agen utama dalam kampanye dan pencegahan kekerasan seksual, bukan menjadi ruang bagi pelaku kekerasan.
Sementara itu, Ketua Satgas PPKS Universitas Amikom Yogyakarta, Andreas Tri Pamungkas, menjelaskan bahwa kegiatan ini digelar untuk mengajak mahasiswa berperan aktif dalam pencegahan kekerasan seksual dengan bergabung sebagai volunteer. Andreas menambahkan, “Kami berharap organisasi mahasiswa menjadi garda depan dalam menyuarakan isu ini dan membantu mengkampanyekan pencegahan kekerasan seksual di kampus.”
Keberadaan volunteer, lanjut Andreas, akan memperkuat Satgas PPKS yang baru dibentuk pada Agustus 2023. Ia juga menyebutkan bahwa Satgas tengah merumuskan upaya untuk melibatkan dosen dan tenaga kependidikan di luar pengurus harian dalam mendukung pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus.
Kegiatan tersebut juga menghadirkan Sukiratnasari, seorang aktivis perempuan dan advokat, serta Ketua Satgas PPKS. Dalam paparannya, Sukiratnasari menekankan pentingnya kolaborasi antara Satgas PPKS dan organisasi mahasiswa. “Organisasi mahasiswa harus memaksimalkan peran divisi advokasi dalam menangani kekerasan seksual, seperti halnya paralegal di lembaga bantuan hukum,” ujarnya.
Sukiratnasari juga memberikan pelatihan bagi mahasiswa agar dapat berperan sebagai support system Satgas, terutama dalam hal menggali informasi dari penyintas dan membuat berita acara pemeriksaan. Ia menekankan pentingnya menjaga kerahasiaan identitas penyintas dalam setiap proses penanganan.
Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa kekerasan seksual di kampus bisa melibatkan berbagai pihak, termasuk mahasiswa, tenaga kependidikan, hingga dosen. “Kekerasan seksual sering terjadi karena adanya relasi kuasa dalam proses belajar-mengajar, bimbingan, atau kegiatan lain seperti magang dan pengabdian masyarakat,” jelasnya.
Sukiratnasari juga memberikan penjelasan mengenai batasan kekerasan seksual yang mencakup adanya relasi kuasa dan ketiadaan konsen (persetujuan). “Kondisi diam atau tidak merespon belum tentu adalah persetujuan, karena mungkin saja korban mengalami tonic immobility atau kelumpuhan sementara,” tutupnya.
Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan aksi nyata dari seluruh warga kampus untuk menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan seksual.