Prof. Ema Pimpin Konsorsium Riset Pelestarian Bahasa Daerah NTB, Raih Pendanaan Riset Konsorsium Unggulan Berdampak 2025

16 September 2025 | Berita Utama

Yogyakarta, 4 September 2025 – Universitas AMIKOM Yogyakarta kembali menunjukkan kiprahnya di dunia riset nasional dengan lolosnya salah satu tim penelitinya pada Program Riset Konsorsium Unggulan Berdampak (RIKUB) Anggaran 2025. Berdasarkan Keputusan Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Nomor 0768/C3/DT.05/00/2025, proposal yang diajukan Prof. Dr. Ema Utami, S.Si., M.Kom., dinyatakan sebagai salah satu penerima pendanaan dari total 82 konsorsium yang terpilih secara nasional

Program RIKUB merupakan skema pendanaan riset kolaboratif yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Program ini dirancang untuk mendorong sinergi antara perguruan tinggi, dunia usaha, lembaga pemerintah, BUMN/BUMD, dan masyarakat dalam menghasilkan riset yang aplikatif serta berdampak langsung bagi pembangunan.

Pendanaan melalui RIKUB diberikan hanya kepada riset yang memiliki potensi dampak signifikan. Menurut Buku Panduan RIKUB 2025, program ini mengutamakan riset yang berkontribusi pada penyelesaian persoalan prioritas nasional, mendorong inovasi, dan memperkuat ketahanan sosial, ekonomi, serta budaya.

Riset Pelestarian Bahasa Daerah NTB Berbasis Teknologi

Proposal riset yang diajukan oleh Prof. Ema, berjudul “Pengembangan Sistem Machine Learning untuk Korpus Bahasa Sasak, Samawa dan Mbojo Berbasis Gaya Kepribadian pada Wilayah Rentan.” Penelitian ini merupakan hasil kolaborasi antara Universitas AMIKOM Yogyakarta, Universitas Bumigora, dan Balai Bahasa NTB, yang membentuk konsorsium riset dengan fokus pada pelestarian bahasa lokal berbasis teknologi. Fokus utamanya adalah membangun korpus digital multimodal berskala besar untuk tiga bahasa daerah di NTB—Sasak, Samawa, dan Mbojo (SaSaMbo)—dengan pendekatan berbasis gaya kepribadian penutur.

Prof. Ema menjelaskan bahwa riset ini memanfaatkan machine learning untuk memahami keragaman bahasa berdasarkan gaya berbahasa dan konteks sosial-budaya penutur. Korpus yang dikembangkan tidak hanya berisi teks, tetapi juga mencakup audio, manuskrip kuno yang diproses dengan OCR, serta metadata sosiodemografis dan kepribadian penutur.

“Kami ingin menciptakan infrastruktur digital yang mampu merepresentasikan kekayaan bahasa daerah dengan lebih komprehensif. Dengan basis data ini, teknologi AI dapat digunakan untuk aplikasi pendidikan, pelestarian budaya, hingga sistem komunikasi tanggap bencana berbasis bahasa lokal,” ujar Prof. Ema.

Menurut Prof. Ema, ancaman kepunahan bahasa lokal di NTB sangat nyata. Hilangnya bahasa Tambora akibat letusan gunung berabad lalu menjadi peringatan bahwa bencana dapat memusnahkan bahasa dalam waktu singkat. Ia menegaskan bahwa bahasa Sasak, Samawa, dan Mbojo merupakan identitas masyarakat NTB yang harus dijaga. Melalui riset ini, dokumentasi bahasa dilakukan secara sistematis sehingga dapat dimanfaatkan dalam aplikasi edukasi maupun sistem komunikasi tanggap bencana berbasis bahasa daerah.

Pendekatan berbasis machine learning memungkinkan sistem yang dikembangkan mengenali variasi bahasa sesuai gaya berbicara penutur sehingga teknologi yang dihasilkan lebih sesuai dengan konteks sosial dan budaya setempat. Dengan cara ini, hasil riset diharapkan tidak hanya menyelamatkan bahasa tetapi juga memperkuat kesiapsiagaan bencana, mendorong literasi digital, dan memberi manfaat langsung bagi masyarakat NTB.

“Kami berharap riset ini tidak hanya menyelamatkan bahasa, tetapi juga membuka jalan bagi pengembangan teknologi yang berpihak pada masyarakat di daerah rawan bencana,” tutupnya.

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Ema juga memberikan pesan bagi para dosen dan peneliti muda di kampus bahwa penelitian yang berdampak tidak selalu harus berskala besar. Menurutnya, yang terpenting adalah keberanian memulai, kemampuan membangun kolaborasi, dan keyakinan pada potensi lokal.

“Jangan ragu mengangkat isu lokal dengan pendekatan global. Kolaborasi lintas disiplin dan lintas institusi adalah kunci. Mulailah dengan isu yang relevan, bangun tim yang solid, dan beranilah mengajukan proposal,” ujarnya.

Fadya RY – Direktorat Kehumasan dan Urusan Internasional
Koresponden : Ema Utami