Yogyakarta, 4 Agustus 2025 — Universitas AMIKOM Yogyakarta menyelenggarakan Seminar Literasi AI bertajuk “Membangun Generasi Cerdas dan Adaptif di Era AI” sebagai bagian dari rangkaian acara Peresmian Pusat Pengembangan Artificial Intelligence (AI). Seminar ini berlangsung di Ruang Cinema, Kampus Universitas AMIKOM Yogyakarta, pada Senin (4/8), pukul 10.00 WIB. Kegiatan ini merupakan bentuk komitmen kampus dalam mendukung transformasi digital nasional, memperkuat literasi teknologi, serta memperluas dampak riset kecerdasan buatan di lingkungan akademik dan masyarakat luas.
Seminar menghadirkan empat narasumber utama, yaitu Prof. Dr. Ema Utami, S.Si., M.Kom. (Direktur Pusat Pengembangan AI), Prof. Dr. M. Suyanto, M.M. (Rektor Universitas AMIKOM Yogyakarta), Prof. Dr. Kusrini, M.Kom. (Dekan Fakultas Ilmu Komputer), dan Arief Setyanto, S.Si., M.T., Ph.D. (Wakil Rektor IV Bidang Kerjasama dan Pengembangan).
Prof. Ema Utami: Pusat AI AMIKOM Siap Wujudkan Visi Indonesia Digital 2045
Dalam paparannya Prof. Dr. Ema Utami, S.Si., M.Kom., selaku Direktur Pusat Pengembangan Artificial Intelligence (AI) Universitas AMIKOM Yogyakarta, menjelaskan bahwa Pusat Pengembangan AI AMIKOM didirikan sebagai ruang kolaborasi lintas disiplin, lintas sektor, dan lintas generasi. Pusat ini bukan hanya sebagai laboratorium riset, tetapi juga sebagai infrastruktur nasional yang dapat mengintegrasikan hasil penelitian dengan kebutuhan nyata masyarakat dan industri.
“Kami ingin menjadikan Pusat Pengembangan AI sebagai penggerak utama dalam inovasi yang berdampak, yang tidak hanya menjawab tantangan teknologi, tetapi juga etika, talenta, investasi, dan tata kelola data,” ungkapnya.
Beliau menggarisbawahi bahwa Pusat Pengembangan AI Universitas AMIKOM Yogyakarta dibangun berdasarkan lima prinsip utama, yakni etika, data, talenta, investasi, dan inovasi. Etika menjadi fondasi agar pengembangan AI tetap menjunjung nilai-nilai keadilan dan tanggung jawab sosial. Pengelolaan data harus dilakukan secara aman dan berkelanjutan. Talenta ditumbuhkan melalui pendidikan dan pelatihan lintas disiplin. Investasi diarahkan pada penguatan riset dan pengembangan bersama mitra strategis. Sementara itu, inovasi diharapkan mampu menjawab tantangan nyata di sektor-sektor seperti pertanian, kesehatan, pariwisata, animasi, dan mitigasi bencana.
Menutup paparannya, ia menegaskan bahwa keberlanjutan pusat ini akan didorong melalui berbagai skema pendanaan, termasuk kerja sama industri, hibah riset, CSR, hingga komersialisasi hasil inkubasi startup.
“Membangun AI bukan hanya soal kecanggihan, tapi tentang kebermanfaatan. Kami ingin memastikan bahwa pusat ini tumbuh bersama masyarakat dan memberi dampak yang nyata, bukan hanya wacana,” tutupnya.
Prof. Suyanto Tegaskan AI Sebagai Tools, Bukan Pengganti Kreativitas
Dalam sesi selanjutnya, Rektor Universitas AMIKOM Yogyakarta, Prof. Dr. M. Suyanto, M.M., menyoroti pentingnya memahami AI sebagai alat bantu dalam proses kreatif, bukan sebagai pengganti kemampuan manusia. Dalam Filmmaking, Beliau menekankan pentingnya penguasaan dasar-dasar produksi karya, seperti penulisan naskah, sinematografi, dan penyutradaraan sebelum mahasiswa atau profesional menggunakan AI sebagai alat produksi.
“Tanpa penguasaan naskah dan sinematografi yang baik, AI tidak akan bisa menghasilkan karya yang berkualitas. AI hanya alat, bukan sumber ide,” ujar Prof. Suyanto.
Dalam konteks yang lebih luas, Prof. Suyanto menyampaikan bahwa Pusat Pengembangan AI Universitas AMIKOM Yogyakarta didirikan sebagai bagian dari langkah nyata kampus untuk mendukung ekosistem inovasi nasional. Ia berharap pusat ini akan menjadi pusat post-production berbasis AI terdepan di Asia Tenggara pada 2026, dan masuk dalam jajaran global pada tahun 2030.
Tak hanya berfokus pada industri animasi, Prof. Suyanto juga menyoroti penerapan AI dalam sektor pertanian, khususnya melalui pengembangan drone pertanian presisi. Teknologi ini dinilai sangat bermanfaat untuk wilayah dengan keterbatasan tenaga kerja, seperti Papua dan Kalimantan, karena dapat melakukan penyemprotan otomatis secara efisien dan aman.
“Kita harus memanfaatkan AI untuk menyelesaikan persoalan nyata di masyarakat, dari pangan hingga industri kreatif,” pungkasnya.
Prof. Kusrini: AI Harus Menyentuh Masalah Nyata dan Kontekstual
Prof. Dr. Kusrini, M.Kom., menekankan bahwa pengembangan kecerdasan buatan (AI) di lingkungan akademik harus berangkat dari persoalan nyata yang dihadapi masyarakat. Menurutnya, AI hanya akan relevan jika mampu menjawab kebutuhan kontekstual dan memberikan solusi yang bisa langsung diterapkan.
“AI bukan untuk hal-hal yang muluk, tapi untuk menjawab kebutuhan di sekitar kita—petani, pasien, penyelamat pantai. Kita harus membumi dalam riset,” ujar Prof. Kusrini.
Dalam sesi tersebut, Beliau menyoroti berbagai contoh implementasi AI yang dikembangkan oleh mahasiswa dan dosen Universitas AMIKOM Yogyakarta. Salah satunya adalah Open Forest Map, sistem pemantauan kebakaran hutan yang menggabungkan citra satelit dan algoritma kecerdasan buatan untuk memprediksi dan mendeteksi potensi kebakaran secara dini. Sistem ini dinilai sangat potensial digunakan untuk mitigasi bencana di wilayah-wilayah rawan seperti Kalimantan dan Sumatera.
Prof. Kusrini juga memperkenalkan kursi roda cerdas yang dapat mengukur tekanan darah dan tinggi badan pasien secara otomatis. Inovasi ini dikembangkan sebagai solusi layanan kesehatan berbasis AI yang terjangkau dan mudah digunakan, khususnya untuk pasien difabel dan lansia.
Tak hanya di bidang lingkungan dan kesehatan, ia juga menyoroti implementasi AI dalam sektor pariwisata. Salah satunya adalah pengembangan pelampung penyelamat cerdas yang dapat bergerak otomatis menuju korban tenggelam berdasarkan deteksi dari kamera AI di area pantai. Sistem ini dinilai sangat membantu pengawas pantai dalam merespons situasi darurat secara lebih cepat dan tepat.
Dalam bidang peternakan, Prof. Kusrini juga menyampaikan bahwa tim riset di kampus telah mengembangkan sistem pemberian pakan otomatis berbasis RFID dan AI, yang memungkinkan kambing atau ternak lainnya dikenali secara otomatis saat makan. Sistem ini membantu efisiensi waktu, tenaga, dan kontrol nutrisi bagi para peternak.
Ia menekankan bahwa pengembangan teknologi AI tidak boleh berhenti pada tahap prototipe, tetapi harus diarahkan hingga ke tahap hilirisasi, yaitu digunakan dan dimanfaatkan secara nyata oleh masyarakat atau industri.
“Pusat AI AMIKOM ini harus jadi penghubung antara ide di laboratorium dan solusi di lapangan. Jika bisa sampai ke masyarakat, itulah inovasi yang sesungguhnya,” katanya.
Arief Setyanto: AI Harus Ringkas, Efisien, dan Memberi Dampak Langsung
Di Sesi Terakhir, Ph.D.,Wakil Rektor IV Bidang Kerjasama dan Pengembangan, Arief Setyanto, S.Si., M.T., menyampaikan bahwa kecerdasan buatan (AI) harus dikembangkan secara efisien, kompak, dan dapat langsung diterapkan dalam berbagai kebutuhan masyarakat.
Beliau mencontohkan inovasi pelampung penyelamat pantai berbasis AI yang dikembangkan mahasiswa AMIKOM. Teknologi ini dirancang untuk merespons secara otomatis saat mendeteksi korban tenggelam melalui sistem kamera pantai. AI dalam sistem ini mengidentifikasi pergerakan mencurigakan, lalu mengarahkan pelampung menuju lokasi secara otomatis sebelum tim penyelamat datang.
Tak hanya itu, ia juga menyoroti drone pertanian presisi yang telah dikembangkan dan digunakan oleh startup binaan AMIKOM, FROG Indonesia. Drone tersebut dilengkapi chip AI yang memungkinkan deteksi objek secara otomatis, sehingga penyemprotan hanya dilakukan pada tanaman yang benar-benar membutuhkan.
“Drone kami bisa bedakan mana tanaman, mana manusia. Kalau ada orang di bawahnya, dia tidak akan menyemprot. Itu bagian dari kecerdasan praktis yang kita tanamkan,” jelasnya.
Selain bicara soal efisiensi perangkat, Arief juga menekankan pentingnya membangun ekosistem teknologi yang menjunjung tinggi etika dan kedaulatan digital. Dalam era yang dipenuhi oleh data dan konektivitas global, ia mengingatkan pentingnya menjaga data warga negara agar tidak disalahgunakan oleh pihak luar.
“Teknologi tidak bisa jalan sendiri. Kita butuh etika, regulasi, dan keberpihakan pada data bangsa. Tanpa itu, kita hanya jadi konsumen, bukan pencipta,” tegasnya.
Fadya RY – Direktorat Kehumasan dan Urusan Internasional