Yogyakarta, 16 Juli 2025 – Universitas AMIKOM Yogyakarta menjadi tuan rumah pelaksanaan Konferensi Internasional Kewirausahaan ke-3 dan Rakernas APSKI ke-2 yang diselenggarakan oleh Asosiasi Program Studi Kewirausahaan Indonesia (APSKI). Acara ini menghadirkan akademisi, praktisi industri, investor, hingga perwakilan kementerian dari dalam dan luar negeri untuk membahas arah strategis pengembangan kewirausahaan di lingkungan pendidikan tinggi.
Dalam sambutannya, Dr. Sonny Rustiadi, S.A., M.B.A., Ph.D., selaku Ketua Umum APSKI, menekankan bahwa kolaborasi lintas institusi dan negara menjadi kunci penguatan pendidikan kewirausahaan di era global. Ia menyambut baik penandatanganan kerja sama antara APSKI dan Universiti Teknikal Malaysia Melaka (UTeM) sebagai langkah awal menuju kolaborasi regional.
“Hari ini bukan sekadar seremoni, tetapi awal dari sinergi untuk mencetak wirausahawan yang berpikir global dan bertindak lokal,” ujarnya.
Semangat sinergi juga ditekankan oleh Hanif Al Fatta, S.Kom., M.Kom., Ph.D., Wakil Rektor I Universitas AMIKOM Yogyakarta. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus saling terhubung dan saling memperkuat dalam menciptakan ekosistem kewirausahaan yang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
“Kami percaya bahwa masa depan kewirausahaan dibangun melalui kerja sama antarinstitusi, bukan kompetisi. Inilah semangat yang kami bawa dalam acara ini,” ungkap Hanif.
Panel Sesi 1: Kewirausahaan dalam Perspektif Global
Sesi pertama dibuka dengan presentasi Dr. Beth Goldstein, Direktur Strategi Akademik di Youth Impact Lab, Babson College, Amerika Serikat, yang menyampaikan pandangan mendalam tentang pentingnya menciptakan kelas kewirausahaan sebagai ruang tumbuh yang inklusif dan empatik bagi mahasiswa.
Melalui video presentasi yang disiapkan khusus untuk forum ini, Dr. Beth mengangkat tema “Implementasi Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi Global”. Ia menegaskan bahwa pendidikan kewirausahaan bukan sekadar mengajarkan cara membangun bisnis, tetapi tentang membentuk pola pikir yang tangguh, kolaboratif, dan adaptif.
“Kami percaya bahwa wirausaha tidak hanya tentang bisnis, tapi tentang membentuk karakter pemimpin masa depan,” ujar Beth.
Selanjutnya, dari Dr. Isma Addi Bin Jumbri, dari Universiti Teknikal Malaysia Melaka (UTEM) menekankan urgensi kolaborasi internasional dan pemanfaatan digitalisasi dalam membangun ekosistem pendidikan kewirausahaan modern. Ia mendorong kampus-kampus di Indonesia untuk memulai kerja sama internasional dari hal-hal sederhana seperti kuliah tamu daring dan proyek lintas negara.
Dr. Isma memaparkan berbagai model kerja sama akademik yang efisien dan bermakna, termasuk pertukaran dosen melalui platform digital, magang bersama di perusahaan mitra, dan integrasi proyek-proyek wirausaha dalam kurikulum lintas negara.
“Kerja sama tak harus mahal, tapi harus bermakna,” ujarnya dengan tegas.
Rektor Universitas AMIKOM Yogyakarta, Prof. Dr. M. Suyanto, M.M., menutup sesi ini dengan menekankan bahwa pendidikan kewirausahaan di Indonesia harus melampaui batas teori. Ia menunjukkan bagaimana Universitas AMIKOM Yogyakartaa mengintegrasikan proyek nyata, seperti produksi film dan game, untuk menciptakan dampak ekonomi dan sosial secara langsung.
“Kami mendidik entrepreneur yang juga artist dan scientist—pemimpin kreatif yang menghasilkan solusi nyata,” tegas Suyanto.
Panel Sesi 2: Kewirausahaan untuk Dampak Sosial dan Global
Sesi kedua dibuka oleh John Peter Bolton dari Deakin University, Australia, yang menyoroti bahwa kewirausahaan bukan hanya alat ekonomi, tetapi juga penggerak perubahan sosial. Ia mendorong pengembangan pendidikan kewirausahaan yang berbasis nilai dan orientasi dampak.
Dalam paparannya, Bolton juga memperkenalkan beberapa program inkubasi dan kompetisi wirausaha sosial yang berhasil mencetak startup berbasis keberlanjutan. Ia menekankan bahwa penting bagi perguruan tinggi untuk menciptakan ekosistem yang mendukung keberanian mahasiswa untuk mencoba, gagal, dan bangkit kembali.
“Ajarkan mahasiswa untuk menciptakan perubahan, bukan sekadar produk,” kata Bolton.
Selanjutnya, Ilham Syahputra Nasution dari Tsinghua Southeast Asia Center (SEAC), mengangkat tema besar mengenai pentingnya membangun kewirausahaan yang tangguh melalui kolaborasi global dan kesadaran lokal. Ia menekankan bahwa akses terhadap teknologi bukanlah tujuan akhir, melainkan pintu pembuka untuk menciptakan dampak yang lebih besar melalui inovasi.
Ilham menjelaskan pendekatan yang digunakan oleh Tsinghua SEAC dalam membina talenta mudanya. mereka secara aktif menyelenggarakan program intensif, bootcamp inovasi, dan kerja sama lintas negara yang mendorong mahasiswa untuk membangun proyek nyata yang memiliki nilai sosial dan ekonomi.
“Mahasiswa bukan hanya bersaing dengan lulusan dalam negeri, tapi juga dengan talenta global. Maka yang dibutuhkan bukan hanya pengetahuan, tapi kemampuan untuk beradaptasi, mencipta, dan berjejaring,” ujarnya.
Panel Sesi 3: Menghubungkan Kampus dan Industri
Dalam sesi ketiga, Adi Trisno Juwono, perwakilan dari Industri Global (perusahaan berbasis solusi teknologi), menjelaskan bahwa tantangan kewirausahaan masa kini tidak hanya berkaitan dengan bagaimana memulai bisnis, tetapi juga tentang bagaimana mengidentifikasi masalah nyata dan memberikan solusi berbasis teknologi dan data.
Adi juga menekankan pentingnya sinkronisasi antara dunia usaha dan dunia pendidikan tinggi untuk mendorong lahirnya wirausaha muda yang adaptif dan berorientasi pada solusi.
“Mahasiswa harus diajarkan untuk tidak hanya menciptakan produk, tapi mencari tahu masalah apa yang paling relevan dan dibutuhkan untuk dipecahkan di masyarakat,” ujarnya.
Lalu di sesi terakhir, Ronald Simorangkir dari PT Mandiri Capital Indonesia membagikan wawasan langsung dari dunia investasi tentang tantangan dan strategi sukses membangun startup yang menarik bagi investor. Menurutnya, selain ide, investor mempertimbangkan kekuatan tim, potensi pasar, dan narasi yang meyakinkan.
Ia juga menyoroti pentingnya literasi finansial, legalitas bisnis, dan keberanian berinovasi secara berkelanjutan bagi para founder muda. Menurutnya, banyak mahasiswa yang punya ide bagus, namun gagal mengemasnya dalam bentuk pitch yang kuat dan relevan bagi pasar.
“Kampus perlu mengajarkan mahasiswa bagaimana bicara dengan bahasa investor. Bukan hanya bikin proposal, tapi bagaimana menjawab pertanyaan, mengukur risiko, dan menunjukkan traksi,” tambahnya.
Penutup
Komitmen pemerintah dalam mendukung penguatan kewirausahaan juga ditunjukkan dalam sambutan resmi yang disampaikan secara video. Siti Azizah, Deputi Bidang Kewirausahaan Kementerian Koperasi dan UKM RI, menyatakan bahwa hingga tahun 2024, pihaknya telah memfasilitasi lebih dari 550 startup dari 280 inkubator bisnis di seluruh Indonesia. Ia menegaskan pentingnya memperkuat kolaborasi dengan pendidikan tinggi.
“Universitas harus menjadi inkubator yang mendorong mahasiswa menjadi produsen, bukan hanya konsumen teknologi,” jelasnya.
Senada dengan itu, Dr. Berry Juliandi, S.Si., M.Si., Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi RI, menekankan bahwa sinergi seluruh pihak sangat penting untuk menciptakan ekosistem kewirausahaan nasional yang inklusif dan berkelanjutan.
“Kita butuh kurikulum yang membentuk karakter wirausaha, bukan hanya kompetensi teknis,” ungkapnya.
Menutup rangkaian acara, dilakukan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Universiti Teknikal Malaysia Melaka (UTeM) dengan sejumlah perguruan tinggi anggota APSKI. Penandatanganan ini menjadi momentum penting yang menandai komitmen bersama dalam membangun jejaring kerja sama internasional di bidang pendidikan kewirausahaan. Baik APSKI maupun UTeM sepakat untuk mengembangkan program pertukaran mahasiswa dan dosen, kolaborasi riset, hingga inkubasi bisnis lintas negara.
Fadya RY – Direktorat Kehumasan dan Urusan Internasional